27 Oktober 2008

Kenaikan Harga BBM; Alternatif Terakhirkah????

Gelombang penolakan kenaikan harga BBM semakin merebak. Bukan hanya mahasiswa, kaum ibu pun tak mau kalah menyuarakan aspirasinya melalui parlemen jalanan. Gelombang penolakan ini bukan tanpa alasan atau sekedar “ditunggangi” pihak tertentu. Sejarah telah membuktikan, kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah di tahun 2005 terbilang ngawur. Masih segar kiranya dalam ingatan kita disaat pemerintah mencoba membuat opini untuk mendukung kenaikan harga BBM sebesar 126% pada bulan Oktober 2005. Saat terjadi kenaikan harga minyak dunia, pemerintah dan berbagai lembaga pendukung sibuk memberikan argumentasi bahwa dampat buruk yang terjadi hanya bisa diatasi dengan kenaikan harga BBM. Berbagai proposalpun diajukan untuk memuluskan dan mempercepatan kenaikan harga BBM. Mulai dari alasan untuk menyelamatkan ekonomi, menjawab ketidakpastian pasar, hingga keyakinan bahwa kenaikan harga BBM justru akan menjadi obat untuk mengurangi kemiskinan, dll. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, angka kemiskinan justru meningkat dari 31,1 juta jiwa (2005) menjadi 39,3 juta jiwa (2006). Demikian pula inflasi mengalami kenaikan tajam sebesar 17,75% (2006). Di sisi industri, kenaikan harga BBM untuk kedua kalinya tahun 2005 tersebut telah mendorong percepatan deindustrialisasi. Bila pada tahun 2004 sektor manufaktur masih tumbuh 7,2%, maka pada tahun 2007 hanya tumbuh sebesar 5,1%. Ini terjadi karena industri ditekan dari dua sisi yakni peningkatan biaya produksi dan merosotnya demand akibat menurunnya daya beli masyarakat. Penambahan jumlah penganggur dari 9,9% (2004) menjadi 10,3% (2005) dan 10,4% (2006) pun akhirnya tidak terelakkan.


Alternatif Terakhirkah?

Sebagaimana di tahun 2005, kenaikan harga minyak mentah dunia tidak segera direspon dengan berbagai kebijakan penyelamatan ekonomi tetapi pemerintah justru gencar menciptakan opini pembenaran kenaikan harga BBM. Awalnya pemerintah sibuk menjelaskan bahwa dampak buruk kenaikan harga minyak dunia tidak hanya dirasakan oleh Indonesia tetapi juga negara-negara lain. Kemudian disusul dengan pidato presiden yang meminta rakyat memahami bila pemerintah memutuskan menaikkan. Hingga akhirnya terbentuk opini publik bahwa kenaikan harga BBM adalah harga mati yang harus dilakukan. Hal ini adalah kebohongan publik!!

Jika kita menganalisa lebih dalam, beban APBN karena turunnya tingkat produksi akan lebih besar dibanding karena tingginya harga minyak dunia. Bila tingkat produksi minyak dapat dipertahankan di atas 1 juta barel per hari, maka dampaknya terhadap APBN akan relatif lebih kecil. APBN justru akan diuntungkan dengan tingginya harga minyak. Namun, langkah ini tidak pernah dilakukan karena memang akan memaksa Menteri ESDM untuk merevisi UU Migas yang berarti harus pula merevisi kebijakan liberalisasi sektor energi yang telah dilakukan secara ugal-ugalan.

Dalam sisi tata niaga minyak pun masih tersimpan alternatif lain yang dapat dilirik pemerintah. Adanya KKN dan ketidakefisienan dalam proses pengadaan dan distribusi BBM sudah menjadi rahasia umum. Selama ini, volume pasokan BBM, baik yang diproduksi oleh kilang dalam negeri maupun yang diimpor, jauh lebih tinggi dibanding jumlah BBM yang benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat dan industri. Maka Reformasi tata niaga dapat dijadikan solusi alternatif yang selanjutnya.

Beban APBN yang seringkali dijadikan alasan pemerintah untuk menaikan harga BBM, dapat diringankan dengan melakukan burden sharing kepada semua stakeholders baik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, kreditor kalangan bisnis maupun masyarakat luas. Hal ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan sumber dana, antara lain:

· Optimalisasi Penggunaan Dana-dana Pemerintah

· Optimalisasi penerimaan Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas

· Memperbaiki manajemen utang dan restrukturisasi utang dalam negeri

· Dll.

Program diversifikasi energi dengan menggunakan briket baru bara dan biofuel yang dilakukan pemerintahpun masih terbilang setengah hati. Tidak ada arahan yang jelas bagaimana sumber-sumber energi tsb dapat dijadikan alternatif di masa yang akan datang. Begitu juga dengan program konversi energi, masih banyak warga yang belum mendapatkan kompor gas yang dijanjikan.


BLT, Efektifkah?

Salah satu program yang akan dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kebijakan menaikan harga BBM, sebagaimana tahun 2005, adalah memberikan kompensasi bagi masyarakat miskin. Tahun 2005 pemerintah memberikan BLT sebesar Rp 100.000 per bulan per keluarga bagi keluarga miskin selama satu tahun. Banyak kelemahan dari program kompensasi ini antara lain besaran BLT tidak dapat mengkonversi tambahan beban orang miskin karena jumlah tersebut adalah hasil perhitungan bila harga BBM naik 30-40%, sementara faktanya BBM naik 126%. Selain juga masalah salah sasaran. Meskipun telah dilakukan pendataan oleh BPS, diprediksi ada sekitar 15-20% keluarga miskin yang tidak terjaring karena berbagai alasan.

Tahun 2008, pemerintah tanpa persiapan matang akan mengulang program tersebut. Padahal koreksi terhadap program dan mekanisme belum dilakukan. Demikian juga data yang akan dijadikan data based juga data yang telah out of date karena akan menggunakan data penerima BLT tahun 2005. Dengan gambaran ini dapat dipastikan tingkat efektifitas dari program BLT akan sangat rendah. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2006 muncul keluarga miskin baru yang belum terdata akibat berbagai kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak berpihak kepada kelompok masyarakat bawah. Dan akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban!!. Andakah korban berikutnya ?!?!

Katakan hitam adalah hitam, katakan putih adalah putih..

Tiada jera dalam berjuang!!!

HIDUP MAHASISWA !!!!

Tidak ada komentar: